Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15
Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik,
theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas
Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923,
ketika ia berusia 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas
Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932
ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan
negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di
Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di
Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.[1]
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo
dan pindah ke Inggeris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia
seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggeris. Dan
ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di
Inggeris, dan menikah dengan wanita Inggeris.
Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris.
Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah
airnya sendiri, namun pemerintah Inggeris tidak memberikan imbalan apa-apa
kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-Doktor, di
Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford,
sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas
tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggeris dan mengajar di
Universitas laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini
ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif
al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas
Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal
dunia pada tahun 1969.[2]
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun
karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada
beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip
Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu
Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat,
dan lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij
(1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath
Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.[3]
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan
namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang
terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang
terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil
penelitiannya tentang Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa
Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan
para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[4]
Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh
orientalis, salah satunya adalah Joseph Scathc dalam bukunya The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti proses kemunculan
Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah
al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum
Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa
hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para qadi. Maka kesimpulan yang
didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil
para qadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih
tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai
pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para Sahabat, dan berakhir pada Nabi
Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schatc.
B. Pemikiran
Joseph Schacht
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas
hadits adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa
pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori
yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah
jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada
kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.[5] sebagaimana
yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan : we shall not
meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic.
(kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan
hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih).[6]
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem
isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad
kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi
Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:[7]
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling
awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan
sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”
doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh
pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan
dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I
untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak
ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan
demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5.Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu
merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya
tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun beberapa teori
berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian
hadits bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara
hukum islam dengan apa yang disebut hadits Nabi. Prof. Schacht menegaskan
bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini
memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang
berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits -hadits itu adalah buatan
orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa Hukum Islam
baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama).
Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat
qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[8]
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu
tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,
melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah
selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu
dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya
Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan
kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad
Hadits menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat
itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang
disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back.[9]
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang
berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqâhâ’ di
era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan
menjadikannya sebagai hadits nabawi.
2. Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa
bila seseroang perawi pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya
sebuah hadits dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits oleh
ulama atau perawi yang datang kemudian yang mana para perawi sebelumnya
menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah
ada. Jika satu hadits ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan
kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga
dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadits itu eksis/
tidak, cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah
dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya
hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang
paling bertanggung jawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros
(common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang
menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu:
Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia
hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru
menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common
link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut
dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw.
[1]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 19
[2] Abdurrahman Badawi, Mausu’ah al-Mustasyriqin,
Bairut, Daar al-Ilmi al-Malayin, 1989, hlm. 252-253.
[3] Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”,
dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2010.
[5] Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata
Orientalist” dalam internet
website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata
orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2010.
Posting Komentar