Kaidah Dasar Ilmu Nahwu


Dalam Bahasa Arab, seluruh kata yang ada bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar:
Fi’il (Kata Kerja)
Isim (Kata Benda, Kata SIfat)
Huruf (Kata Sambung, Kata Hubung)
FI’IL
Fi’il adalah kata yang mengandung sebuah makna yang ada pada dirinya dan berkaitan dengan waktu. Dalam Bahasa Arab, kata kerja terdiri dari 3 jenis:
1. Fi’il Madhi
Fi’il madhi adalah kata kerja untuk masa lampau yang memiliki arti telah melakukan sesuatu. Contohnya: كَتَبَ (telahعَلِمَ (telah mengetahui).
menulis) atau
2. Fi’il Mudhari’
 Fi’il mudhari’ adalah kata kerja yang memiliki arti sedang atau akan melakukan. Contohnya: يَكْتُبُ (sedang menulis) atau يَعْلَمُ (sedang mengetahui).
3. Fi’il Amar
  Fi’il Amar adalah kata kerja untuk perintah. Contohnya: اُكْتُبْ (tulislah!) atau اِعْلَمْ (ketahuilah!)
Umumnya Fi’il adalah kata kerja. Akan tetapi, tidak semua fi’il adalah kata kerja. Karena ada juga fi’il yang merupakan kata sifat.
Selain pembagian fi’il berdasarkan waktu (fi’il madhi, fi’il mudhari, dan fi’il amar), ada beberapa pembagian fi’il yang wajib diketahui oleh pemula, yaitu:
1. Fi’il Berdasarkan Kebutuhan Terhadap Objek
Fi’il lazim adalah fi’il yang tidak membutuhkan objek (intransitif)
Fi’il Muta’ady adalah fi’il yang membutuhkan objek (transitif)
2. Fi’il Aktif dan Pasif
Fi’il Ma’lum adalah kata kerja aktif
Fi’il Majhul adalah kata kerja pasif
Dalam Kaidah Bahasa Arab, kalimat pasif tidak boleh memunculkan subjek (pelaku) karena fungsi kalimat pasif dalam Bahasa Arab adalah untuk menyembunyikan atau tidak menyebut pelaku.
3. Fi’il Berdasarkan Huruf Penyusun
Fi’il Shahih adalah fi’il yang huruf penyusunnya terbebas dari huruf ‘illat. Huruf ‘illat yaitu alif, waw dan ya’.
Fi’il Mu’tal adalah fi’il yang huruf penyusunnya mengandung minimal salah satu dari tiga huruf ‘illat yaitu alif, waw, dan ya’ baik pada awal, tengah dan akhir kata.

KAIDAH FI’IL MA’LUM DAN FI’IL MAJHUL
Fi’il yang bisa berubah ke bentuk majhul hanya fi’il muta’addiy (transitif). Adapun fi’il lazim (intransitif) tidak bisa berubah ke bentuk majhul, karena tidak memiliki objek sehingga tidak bisa diubah ke bentuk pasif.
Rumus Mengubah Fi’il Ma’lum ke Fi’il Majhul
Rumus Fi’il Madhiy:
Huruf pertama di-dhammah-kan, dan 1 huruf sebelum huruf terakhir di-kasrah-kan.
Rumus Fi’il Mudhari’:
Huruf pertama di-dhammah-kan, dan 1 huruf sebelum huruf terakhir di-fathah-kan.

ISIM
Isim secara bahasa memiliki arti “yang dinamakan” atau “nama” atau “kata benda”. Sedangkan menurut ulama nahwu, isim adalah kata yang mengandung sebuah makna pada dirinya dan tidak berkaitan dengan waktu.
Bagi pemula, setidaknya harus memahami pembagian isim sebagai berikut:
1. Isim berdasarkan Jumlah
Isim Mufrad adalah kata tunggal
Isim Tatsniyah atau mutsanna adalah isim yang bermakna dua atau ganda
Rumus perubahan mufrad ke tatsniyah ada dua:
Mufrad + انِ (aani) untuk keadaan rafa’
Mufrad + يْنِ (aini) untuk keadaan nashab dan jar
Jamak adalah isim yang bermakna lebih dari dua. Jamak dalam Bahasa Arab ada tiga jenis, yaitu:
Jamak Mudzakkar Salim, yaitu bentuk jamak bagi isim-isim yang mudzakkar.
Rumus perubahan mufrad ke jamak mudzakkar salim ada dua:
Mufrad + وْنَ (uuna) untuk keadaan rafa’
Mufrad + يْنَ (iina) untuk keadaan nashab atau jar
2. Jamak Muannats Salim, yaitu bentuk jamak bagi isim-isim yang muannats.
Rumus perubahan mufrad ke jamak muannats salim:
Mufrad mudzakkar + اتٌ (aatun)
3. Jamak Taksir, yaitu bentuk jamak yang tidak memiliki aturan baku. Jamak ini biasanya  digunakan untuk kata benda mati. Akan tetapi, ada juga jamak taksir yang bukan dari kata benda karena jamak taksir ada dua jenis, yaitu:
Jamak Taksir Lil ‘Aqil, yaitu jamak taksir untuk yang berakal
Jamak Taksir Lighairil ‘Aqil, yaitu jamak taksir untuk kata benda
Asalnya, nama benda mati, jamaknya adalah jamak taksir. Akan tetapi, untuk nama benda yang mengandung huruf ta marbuthah (muannats), bisa diubah ke jamak muannats salim. Contohnya شَجَرَةٌ (pohon) -> شَجَرَاتٌ (pohon-pohon).
Asalnya, isim-isim yang mudzakkar, jamaknya adalah jamak mudzakkar salim. Akan tetapi, ada beberapa isim yang jamaknya berupa jamak taksir. Contohnya طَالِبٌ (siswa) -> طُلَّابٌ (siswa-siswa)
2. Isim berdasarkan Jenis
Isim Mudzakkar adalah istilah untuk kata-kata yang masuk ke dalam jenis laki-laki
Isim Muannats adalah istilah untuk kata-kata yang masuk ke dalam jenis wanita
3. Isim ditinjau dari Keumuman dan Kekhususan
Isim Ma’rifah (Kata Khusus), yaitu kata yang objek pembicaraannya telah ditentukan
Isim Nakirah (Kata Umum), yaitu kata objek pembicaraannya tidak ditentukan
Isim Ma’rifah dalam Bahasa Arab ada enam:
Dhamir (Kata Ganti)
Isim ‘Alam (Nama)
Isim Isyarah (Kata Tunjuk)
Isim yang dilekati alif dan lam (Al)
Isim Maushul
Isim yang di-idhafah-kan (disandarkan) kepada salah satu dari 5 isim ma’rifat di atas.
4. Isim ditinjau dari Keberterimaan Tanwin
Isim Munsharif, yaitu isim yang bisa bertanwin
Isim Ghairu Munsharif, yaitu isim yang tidak boleh bertanwin ketika berdiri sendiri, apalagi ketika kemasukan alif dan lam atau idhafah
“Selain tidak bertanwin, isim ghairu munsharif juga tidak bisa berharakat kasrah.”
Kelompok isim yang tidak boleh bertanwin:
Seluruh nama wanita
Seluruh nama Laki-laki yang diakhiri ta marbuthah
Seluruh nama yang berasal dari non Arab yang hurufnya lebih dari 3 huruf
Seluruh nama yang berakhiran alif dan nun
Seluruh nama yang mengikuti wazan fi’il
Seluruh nama yang mengikuti wazan فُعَلُ
Seluruh kata sifat yang mengikuti wazan فَعْلاَنُ
Seluruh kata yang mengikuti wazan فْعَلُ
Seluruh kata yang mengikuti pola shigat muntahal jumu’
Semua kata yang diakhiri alif ta’nits maqsurah dan mamdudah
Hukum asalnya isim ghairu munsharif itu majrurnya dengan fathah. Namun ada 2 keadaan yang menjadikan isim ghairu munsharif boleh berharakat kasrah ketika majrur:
Dilekati Al
Isim ghairu munsharif, khususnya yang bukan ma’rifat dari asalnya (nama), ketika dilekati Al, ia majrur dengan kasrah.
Menjadi Mudhaf
Bila isim ghairu munsharif menjadi mudhaf (bukan mudhaf ilaih), ia juga majrur dengan kasrah.
5. Isim ditinjau dari Perubahan Akhir Kata
Isim Mu’rab adalah kelompok kata yang bisa berubah keadaan akhir katanya seiring perbedaan kedudukan kata tersebut
Isim Mabny adalah kelompok kata yang tidak akan berubah selamanya. Artinya bentuknya akan tetap seperti itu.

KAIDAH JUMLAH FI’LIYAH LAZIM
Fi’il harus sesuai jenisnya dengan fa’il.
Fi’il harus dalam bentuk mufrad.
Fa’il harus dalam keadaan rafa’ (marfu’)
Rumus Cepat : FIRA DAN FARA ITU MANIS
FIRA: FI’il harus mufRAd
FARA: FA’il harus RAfa’
MANIS: fi’il dan fa’il itu harus saMA jeNIS
KAIDAH JUMLAH FI’lLIYYAH MUTA’ADDIY:
Fi’il harus sesuai jenisnya dengan fa’il.
Fi’il harus dalam bentuk mufrad.
Fa’il harus dalam keadaan rafa’ (marfu’)
Maf’ul bih harus dalam keadaan nashab (manshub)
Maf’ul bih tidak terkait dengan fi’il dan fa’il
Rumus Cepat : FIRA DAN FARA MANIS MANA?
FIRA: FI’il harus mufRAd
FARA: FA’il harus RAfa’
MANIS: fi’il dan fa’il itu harus saMA jeNIS
MANA: MAf’ul bih harus NAshab
KAIDAH JUMLAH FI’LIYAH JAMA’ TAKSIR
Bila fa’il nya jamak taksir lighairil ‘aqil, maka fi’il-nya wajib dalam keadaan mufrad muannats.
Bila fa’il nya jamak taksir lil ‘aqil, maka fi’il-nya menyesuaikan jenis dari fa’il tersebut.
KAIDAH JENIS JAMA’ TAKSIR
 Jamak Taksir Lighairil ‘Aqil dihukumi sebagai muannats.
 Jamak Taksir Lil ‘Aqil untuk muannats dihukumi muannats
 Jamak Taksir lil ‘aqil untuk mudzakkar dihukumi mudzakkar
KAIDAH JUMLAH ISMIYYAH
Mubtada dan Khabar harus rafa’
Mubtada dan Khabar harus sama dari sisi jenis dan Jumlah
Mubtada harus ma’rifah
Rumus Cepat : MADU MANIS DARI MALANG
MADU: MArfu’ keDUanya
MANIS: Mubtada dan khabar itu harus saMA jeNIS
DARI: MubtaDA harus ma’RIfat
MALANG: SaMA biLANGan jumlahnya
KAIDAH JUMLAH ISMIYYAH JAMAK TAKSIR
Bila mubtadanya jamak taksir lighairil ‘aqil, maka khabarnya mufrad muannats.
Bila mubtadanya jamak taksir lil ‘aqil mudzakkar maka khabarnya harus jamak (mudzakkar salim atau taksir sesuai kebutuhan)
Bila mubtadanya jamak taksir lil’aqil muannats maka khabarnya harus jamak (muannats salim atau taksir sesuai kebutuhan)
KAIDAH MUDHAF-MUDHAF ILAIH
Mudhaf tidak boleh bertanwin. Mudhaf tidak boleh bertanwin baik dhammatain, kasratain, maupun fathatain.
Mudhaf tidak boleh dilekati “al”. Selain tidak boleh bertanwin, mudhaf juga tidak boleh dilekati al.
Mudhaf ilaih harus dalam keadaan jar (majrur). Isim kedua yang berfungsi sebagai penjelas (mudhaf ilaih) harus dalam keadaan jar sesuai dengan kondisi mu’rabnya.
Mudhaf boleh rafa’, nashab, dan jar sesuai kebutuhan. Berbeda dengan mudhaf ilaih yang wajib dalam keadaan jar, mudhaf tidak wajib dalam keadaan tertentu karena disesuaikan dengan kebutuhan. Ini dikarenakan mudhaf itu pasti telah menempati kedudukan lain.
TAWABI’
Tawaabi’ adalah kelompok jabatan kata dalam kalimat yang tanda I’rabnya tidak mutlak. I’rab dari kelompok tawaabi’ mengikuti kata yang diikuti. Tawaabi’ ada 4:
Na’at (sifat)
‘Athaf (kata sambung)
Taukid (penekanan)
Badal (pengganti)
KAIDAH NA’AT MAN’UT
Na’at dan man’ut harus sama jenis
Bila man’utnya mudzakkar, maka na’atnya wajib mudzakkar. Sebaliknya jika man’utnya muannats, maka na’atnya wajib muannats.
Na’at dan man’ut harus sama bilangan
Bila man’utnya mufrad, maka na’atnya wajib mufrad, begitupun bila man’utnya tatsniyah atau jamak, maka na’atnya harus mengikuti bilangan man’utnya.
Na’at man’ut harus sama dari sisi ma’rifat dan nakirah.
Bila man’utnya ma’rifat, maka na’atnya wajib ma’rifat. Sebaliknya jika man’utnya nakirah, maka na’atnya wajib nakirah
Na’at dan man’ut harus sama dari sisi I’rab
Bila man’utnya marfu’, maka na’atnya wajib marfu’. Begitupun bila man’utnya manshub atau majrur, maka na’atnya harus menyesuaikan I’rab dari man’utnya.
Kesimpulannya, na’at dan man’ut harus sama dari semua sisi berbeda dengan mubtada dan khabar yang hanya harus sama jenis dan bilangannya saja.
KAIDAH BADAL
Badal ada 4 kelompok:
بدل الكل من الكل
Badal keseluruhan dari keseluruhan. Maksudnya, yang diganti dengan penggantinya adalah sesuatu yang sama.
بدل البعض من الكل
Badal jenis ini merupkan sebagin kecil dari mubdal. Biasanya digunakan untuk menjelaskan bagian Perbagian.
بدل الاشتمال
Isytimal secara bahasa artinya meliputi atau mencakup. Badal isytimal biasa digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang memiliki hubungan atau keterkaitan dengan sesuatu. Biasanya ini terkait dengan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Misalkan seseorang memiliki ilmu dan harta.
بدل الغلط
Al ghalath secara bahasa artinya salah atau keliru. Badal ini terjadi ketika seseorang salah mengucapkan sesuatu. Hal semacam ini tentu tidak mungkin ditemukan pada tulisan. Ia hanya berlaku pada ucapan.
Isim Isyarah dan Badal
Bila setelah isim isyarah ada isim yang ma’rifah dengan sebab “al” maka ia pasti menjadi badal.
KAIDAH TAUKID (Keterangan Penguat)
Dengan lafadz nafsun, ‘ainun, kullun & jamii’un
Lafadz taukid hrs bersambung dgn dhamir yg merujuk pada isim yg dikuatkan (muakkad)
Lafadz taukid wajib sma dgn ‘irab yg dikuatkan (muakkad)
Lafadz taukid wajib sma bilangannya dgn yg dikuatkan (muakkad)
Untuk muakkad mutsanna maka lafadz taukidnya dgn kilaa, anfusu, & a’yun.
Kaidah yang berkaitan dengan haal:
Haal harus manshub
Haal harus nakirah
Shahibul haal harus ma’rifah
Haal dan Shahibul haal harus sama daru sisi jenis dan bilangan
Bila haal menjelaskan tentang keadaan atau kondisi, maka tamyiz digunakan ketika kita ingin menjelaskan atau menegaskan dzat atau objek yg dimaksud.
Kaidah yg berkaitan dg Tamyiz:
Tamyiz harus nakirah
Tamyiz harus dari isim jamid
Kaidah ‘Adad dan Ma’dud (Bilangan):
Bilangan yg tamyiz hanya bilangan 11-99. Untuk bolangan 11-99, ma’dudunya mufrad manshub. Contoh : طالبًا أحد عشر رأيت
Untuk bilangan 3-10, ma’dudnya dihukumi jama’ majrur. Contohnya: سافرت سبع ليالٍ وثمانية أيَّامٍ
Untuk bilangan 100, 1000 dan kelipatannya, ma’dudnya dihukumi mufrad majrur. Contoh: في السنة خمسةٌوستون وثلاثمئة يومٍ
MAF’UL MIN AJLIH
Maf’ul min ajlih adalah maf’ul yg menjelaskan tujuan atau alasan kenapa suatu perbuatan dilakukan. Maf’ul min ajlih juga disebut dengan maf’ul lah.
Kaidah yg berkaitan dg Maf’ul min Ajlih:
Maf’ul min ajlih harus menggunakan mashdar
Maf’ul min ajlih harus dari kata yg maknanya perasaan bukan perbuatan fisik (lisan, tangan).
MAF’UL MA’AH
Maf’ul Ma’ah adalah keterangan yg menjelaskan penyertaan atau kebersamaan dengan menggunakan huruf waw ma’iyyah. Fungsinya mirip athaf ma’thuf hanya saja ia lebih menekankan penyertaan.
MUBTADA’
Hukum asal mubtada adalah ma’rifat. Namun, ada kondisi yg membolehkan mubtada dalam keadaan nakirah. Berikut ini kondisi yg membolehkan mubtada dlm keadaan nakirah :
Bila bentuknya mudhaf-mudhaf ilaih
Bila disifati dengan nakirah
Bila mubtadanya diakhirkan
Bila didahului nafiy atau istifham
Bila mubtada nya bermakna umum
Bila mubtada nya bermakna doa
Bila didahului لولا
Bila mubtada nya menjadi amil bagi kata yg ada setelahnya
 كان واخواتها
Kata كان merupakan fi’il madhi naqish yg tashrifnya: كان – يكون – كونًا – كائنٌ – كن – لاتكن
كان (ada, terjadi)
أمسى (memasuki waktu sore)
أصبح (memasuki waktu subuh)
أضحى (memasuki waktu dhuha)
ظلّ (pada waktu siang)
بات (pada waktualam)
صار (menjadi)
ليس (tidak)
مادام – مابرح – مافتئ – مانفك – مازال (senantiasa)
Kaidah Kaana dan yg semisalnya:
Mubtada berubah namanya menjadi isim fi’il dan i’rabnya tetap marfu’
Khabar berubah namanya menjadi khabar fi’il dan i’rabnya berubah menjadi manshub
إنّ  dan yang semisalnya ( إنّ وأخواتها )
Seluruh ‘aamil inna dan yang srmisalnya merupakan huruf. Huruf-huruf tsb adalah:
إنّ (sesungguhnya)
أنّ (sesungguhnya)
لكنّ (akan tetapi)
كأنّ (seperti)
ليت (andai)
لعلّ (supaya, semoga)
Kaidah inna dan yang semisalnya:
Mubtada berubah namanya menjadi isim huruf dan berubah i’rabnya menjadi manshub
Khabar berubah namanya menjadi khabar huruf dan i’rabnya tetap marfu’
ظنّ dan yang semisalnya  ظنّ وأخواتها
ظننت (menyangka)
حسبت (mengira)
خلت (membayangkan)
زعمت (menduga/mengira)
رأيت (melihat)
علمت (mengetahui)
وجدت (mendapati)
اتخذت (menjadikan)
جعلت (menjadikan)
سمعت (mendengar)
Kaidah dzanna dan yang semisalnya:
Mubtada berubah namanya menjadi maf’ul awwal dan berubah i’rabnya menjadi manshub
Khabar berubah namanya menjadi maful tsaani dan i’rabnya menjadi manshub
LAA NAFIYAH
Huruf laa nafiyah (penafian / peniadaan) adalah huruf yang bisa digunakan untuk membuat kalimat negatif jumlah ismiyyah. Laa nafiyah memiliki hukum seperti hukum inna dan saudaranya. Artinya, menashabkan isim dan merafa’kan khabar.
Kaidah yang berlaku untuk laa nafiyah:
Isim Laa wajib nakirah
Isim Laa dihukumi mabniy bila mufrad dan dihukumi manshub bila ghairu mufrad. Maksud mufrad di sini bukan lawan dari mutsanna dan jamak melainkan yang bukan mudhaf-mudhaf ilaih dan syibhul mudhaf.
Laa Nafiyah untuk menafikan fi’il
Selain menafikan isim, laa nafiyah juga bisa menafikan fi’il. Ketika laa nafiyah digunakan untuk fi’il, maka kaidah yang berlaku adalah:
Laa nafiyah tidak mengubah i’rab fi’il
Artinya, laa nafiyah tidak menjadikan fi’il nya menjadi manshub atau majzum. Ia tetap dalam keadaan asal (marfu’)
Laa nafiyah hanya bisa menafikan fi’il mudhari
Laa nafiyah merupakan huruf nafiy yang khusus untuk fi’il mudhari. Laa nafiyah tidak bisa digunakan untuk menafikan fi’il madhi. Kita bisa menggunakan maa nafiyah ( مَا ) untuk menafikan fi’il madhi.
Pengecualian (Istisna’)
8 kata berikut yang dikenal dengan adaat al istitsnaa:
إِلاَّ, غيْرُ , سِوَى , سُوَى , سَوَاءُ , خَلاَ , عَدَا , حَاشَا
Ada 3 kaidah yang berkaitan dengan istitsna:
Bila kalimatnya sempurna dan positif, maka mustatsna nya wajib manshub.
Bila kalimatnya sempurna dan negatif, maka boleh menghukumi mustatsna sebagai badal ataupun manshub dengan adat ististnaa.
Bila kalimatnya negatif dan tidak sempurna, maka I’rab mustatsna mengikuti ‘amilnya.
Pengecualian dengan غيْر, سِوَى , سُوَى , سَوَاءُ
Keempat jenis istitsna ini merupakan isim bukan huruf. Oleh karena itu ketiga kaidah ististna di atas bukannya berlaku untuk mustatsna nya melainkan untuk keempat isim istitsna ini. Sehingga:
Bila kalimatnya sempurna dan positif, maka isim istitsna nya yang wajib manshub sedangkan mustatsna nya wajib majrur.
Bila kalimatnya sempurna dan negatif, maka boleh menghukumi isim istitsna sebagai badal ataupun manshub dengan adat ististnaa sedangkan mustatsna nya tetap wajib majrur.
Bila kalimatnya negatif dan tidak sempurna, maka I’rab isim ististna mengikuti ‘amilnya sedangkan mustatsna tetap wajib majrur.
Pengecualian dengan خَلاَ , عَدَا , حَاشَا
Bila istitsnanya menggunakan خَلاَ , عَدَا , حَاشَا maka boleh menjadikan mustatsnanya manshub atau majrur.
Kalimat Panggilan (Munada)
Munada, memiliki ketentuan sebagai berikut:
Bila munada nya isim ‘alam kata tunggal maka ia didhamahkan tanpa tanwin (mabniy dhammah).
Begitu juga bila munadanya isim nakirah yang ditentukan (nakirah maqshudah28), maka ia didhammahkan tanpa tanwin
Namun bila munadanya isim nakirah yang tidak ditentukan (nakirah ghairu maqshudah), maka ia manshub
Bila munadanya susunan kata (mudhaf mudhaf ilaihi), maka ia manshub
Bila munadanya menyerupai mudhaf  maka ia manshub
Kaidah Kalimat Pasif:
Fi’il yang digunakan wajib fi’il majhul dari fi’il muta’addiy
Naibul fa’il wajib marfu’
Tidak diperbolehkan menyebut fa’il
Posting Lebih Baru
This is the last post.

Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.