D. ILMU AL-BADÎ’
Al-Badî’ secara etimologi adalah kreasi yang
dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada. Secara terminologi, Ilmu
Badi’ adalah ilmu yang mempelajari beberapa model keindahan stylistika,
beberapa pepaês—ornamen perhiasan kalimat—yang menjadikan kalimat indah
dan bagus, menyandangi kalimat dengan kesantunan dan keindahan setelah
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.[35]
Secara gais besar ilmu badî’ mempunyai dua obyek
kajian, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassanât
al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).
1. al-Muhassanât al-Lafdziyyah
a. al-Jinâs (paronomasia;pun[36]),
Jinâs adalah adanya kesamaan dua kata dalam
pelafalan namun berbeda dalam pemaknaan. Ada dua macam jinâs, yaitu[37]:
1) Jinâs tâm :
adanya kesamaan antara dua kata dari jumlah hurufnya, macam hurufnya, syakl-nya
dan urutannya. Contoh:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ
مَالَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ {الروم: 55}
2) Jinas ghairu tâm:
adanya perbedaan antara dua kata dalam satu macam diantara keempat macam
persyaratan tersebut (syakl, huruf, jumlah dan urutannya). Contoh:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَتَنْهَرْ
(الضحى:9-10)
b. al-Saj'(rhimed prose)
Saj’ dalam terminologi balâghiyyin berarti
adanya dua kalimat atau lebih yang mempunyai akhiran dengan huruf yang sama,
kata terakhir pada setiap kalimat disebut dengan fâshilah, dan setiap
kalimat disebut dengan faqrah.[38]: Ada tiga macam saj’, yaitu:
a. Al-Saj’
al-Mutharraf, yaitu dua kalimat atau lebih yang wazan fashilah-nya
berbeda namun bunyi akhirnya sama, contoh:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا وَالْجِبَالَ
أَوْتَادًا (النبأ:6-7)
b. Al-Saj’ al-Murashsha’,
yaitu dua kalimat atau lebih yang mana lafadz pada setiap faqrah-nya
memiliki wazan dan qafiyah yang sama, contoh:
فهو يطبع الأسجاع بجواهر لفظه، ويقرع الأسماع بزواجر وعظه
c. Al-Saj’
al-Mutawâzi, adalah dua faqrah yang sama dalam wazan dan qafiah-nya,
contoh:
فِيهَا سُرُرُُمَّرْفُوعَةٌ وَأَكْوَابُُمَّوْضُوعَةٌ
(الغاشية:13-14)
c. al-Tarshî'(homoeptoton)
Tarshî’ adalah adanya kesamaan antara lafadz dalam
faqrah pertama (syathrah pertama) dengan faqrah sesudahnya
dalam wazan dan qafiyah-nya[39]. Adakalanya sama persis dalam wazan dan
a’jaz-nya, seperti:
إِنَّ اْلأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي
جَحِيمٍ ( الانفطار:13-14)
Dan adakalanya berdekatan saja dalam wazan dan a’jaz-nya,
contoh:
وَءَاتَيْنَاهُمَا الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَهَدَيْنَاهُمَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (الصافات: 117-118)
d. al-Tasythir (internal rhyme)
Tasytîr adalah ketika pembagian penyair terhadap shadr
dan ‘ajuz syair masing-masing menjadi dua bagian, dan antara shadr
dan ‘ajuz, saja’-nya dibuat berbeda. Contoh:[40]
كالزهر فى ترف والبدر فى شرف * والبحر فى كرم والدهر فى همم
2. al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah
a. al-Tauriyah(paronomasia;pun)
Al-Tauriyah adalah ujaran yang mempunyai dua
makna, pertama, makna yang dekat dari penunjukan ujaran yang nampak, kedua,
makna yang jauh dan penunjukan katanya tersirat dan inilah makna yang
dikehendaki. [41]Contoh:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُم
بِالنَّهَارِ (الأنعام:60)
b. al-Thibâq (antithesis)
Tibâq adalah terkumpulnya suatu kata dengan
lawan-kata-nya dalam sebuah kalimat, ada dua macam tibâq[42], yaitu:
1) Tibâq al-Ijab,
yaitu tibâq yang mana kedua hal yang berlawanan itu tidak hanya
dibedakan dengan mempositifkan dan menegatifkan saja, contoh:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ (الكهف: 18)
2) Tibaq al-Salbi,
yaitu tibâq yang hanya memeperlawankan kata negatif dan positifnya saja.
فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا
قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ (المائدة:44)
c. al-Muqâbalah (antithesis)
Muqâbalah adalah membuat susunan dua makna atau
lebih, kemudian membuat susunan yang berlawanan dari makna itu secara
berurutan.[43] Contoh:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
(الليل:5-10).
d. Husnu al-Ta’lil (conceit)
Husnu al-ta’lil adalah pengingkaran seorang
sastrawan secara tersurat maupun tersirat atas sebuah konvensi dan mendatangkan
konvensi sastra baru sebagai cara yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan[44]. Contoh:
ماهتزب الأغصان فى الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم.
e. Uslûb al-Hakîm(deliberate equivocation).
Uslûb al-Hakîm terjadi ketika orang yang diajak
berbicara menjawab sesuatu dan tidak sesuai dengan yang diharapkan orang
yang bertanya. Dengan cara, keluar dari pentanyaan itu, atau dengan menjawab
sesuatu yang tidak ditanyakan, ataupun membawa pembicaraan kepada topik lain,
sebagai sebuah isyarat bahwa penanya pantasnya tidak usah menanyakan hal itu,
atau berbicara pada topik yang diharapkan lawan bicara.[45] contoh:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
(البقرة: 189)
Selain dari beberapa macam muhassinât al-ma’nawiyyah
di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’,
istitbâ’, tafrî’ dan lain sebagainya, namun diantara yang paling sering
dikemukakan dan kita jumpai adalah lima pola diatas.
III. KESIMPULAN
Obyek kajian ilmu balâghah merupakan tiga
serangkai retorika bahasa arab yang saling melengkapi. Ilmu Ma’ani
merupakan kajian makna pertama yang menyelaraskan ujaran dengan situasi dan
kondisi. Setelah memahami makna pertama dari sebuah ujaran, Ilmu Bayan
mengajak pembaca berfantasi memahami sebuah ide dengan beberapa style sastra
yang kemudian disempurnakan irama dan maknanya oleh Ilmu Badi’.
Demikianlah pemaparan singkat tentang obyek kajian ilmu
balâghah, menurut penulis, ilmu sastra-termasuk didalamnya ilmu balâghah-,
merupakan sebuah struktur yang mengejawentah dari konvensi (rasa sastra)
menjadi sebuah teori. Namun struktur itu bukan sesuatu yang statis akan tetapi
merupakan proses strukturasi dan destrukturasi yang harus hidup dan berkembang.
Semoga anugrah nalar dan lisan mampu jadi pelita penertian, pemahaman dan
pencerahan. Amin… Wallâhu a’lam.
REFERENSI
Banna’, Haddam. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani.
Ponorogo: Darussalam Press
____________. Al-Balâghah: fi Ilmi al-Bayan.
Ponorogo: Darussalam Press. .
Ghufran, Muhammad. Al-Balâghah: fi Ilmi al- Badi’.
Ponorogo:Darussalam Press.
Hasyimi, Ahmad. Jawâhir al-Balâghah.Beirut : Dâr
al-Fikri. 1994. hlm. 28-30.
Jarim, ‘Ali dan Musthafa Amin. Al-Balâghah
al-Wadhihah. Mesir:Dâr al-Ma’ârif. Cet.X. 1977.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004.
Sakkâki, Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali. Miftâhul
‘Ulûm. Beirut : Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Cet. II. 1987.
Verhaar, J.W.M.. Asas-Asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. cet. III. 2001.
Wahbah, Majdi dan Kamil Muhandis. Mu’jam
al-Musthalahât al-‘Arabiyyah fi al-
[1] Lihat. Ahmad Hasyimi. Jawâhir al-Balâghah.Beirut
: Dâr al-Fikri. 1994. hlm. 28-31
[2] Ibid. hlm. 7.
[3] Jadi yang ada hanya istilah al-lafdhu
al-fasîh dan tidak ada al-lafdhu al-baligh, sedangkan kalimat (kalâm)
dan penutur (al-mutakallim) bisa fasîh dan juga balîgh. Lihat
Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Mu’jam al-Musthalahât al-‘Arabiyyah fi
al-Lughah wa al-Adab. Beirut: Maktabah Lubnan. Cet. II. 1983. hlm. 260.
[4] Kemudian ilmu balâghah perlahan-lahan
terpisah dari satra menjadi ilmu yang otonom dengan obyek pembelajaran yang
jelas diantara ilmu-ilmu bahasa arab. Ibid. hlm. 259.
[5] Lihat, Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004. hlm. 3.
[6] J.W.M. Verhaar mengartikan pragmatik sebagai
cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa
sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan
tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan. Lihat. J.W.M.
Verhaar. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. cet. III. 2001. hlm. 14.
[7] Ahmad al-Hasyimi. Op.cit. hlm. 39-40.
[8] Al-Sakkâki sering disebut sebagai orang
pertama yang menulis ilmu balâghah secara sisitematis, meskipun dia masih
menggabungkan ilmu balâghah dengan ilmu nahwu, ilmu sharaf,
semantik dan ilmu syi’ir. Lihat. Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali
al-Sakkâki. Miftâhul ‘Ulûm. Beirut : Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Cet.
II. 1987. hlm. 161
[9] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Al-Balâghah
al-Wadhihah. Mesir:Dâr al-Ma’ârif. Cet.X. 1977. hlm. 139.
[10] Haddam Banna’. Al-Balâghah: fi ‘Ilm
al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press. hlm.13-16. dan Ahmad Hasyimi. Op.cit.
hlm. 59-60.
[11] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit.
hlm. 139.
[12] Haddam Banna’. Loc.cit. hlm. 22.
[13] Lihat. Ibid. hlm.22-23.
[14] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.
Cit. hlm. 184-187, dan Haddam Banna’. Ibid. hlm. 27-28.
[15] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid.
hlm. 192-199, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 29-38.
[16] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid.
hlm. 206-207, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 39.
[17] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid.
hlm. 210-212, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 40-43.
[18] Insya’ Ghairu thalabi biasanya tidak dibahas
Ulama Balâghah karena kebanyakan bentuknya pada dasarnya merupakan kalâm khabar
yang berlawanan dengan kalâm insya’. Lihat. Ahmad Hasyimi. Op.cit.
Ibid. hlm. 6.
[19]Loc. cit. hlm. 154
[20] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid.
hlm. 239-250, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 66-77.
[21] Ithnâb dalam bahasa Indonsia hampir
mirip dengan istilah Pleonasme dan Tautologi, yang merupakan
acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk
menyatakan satu pikiran atau gagasan, atau juga bisa disamakan dengan Perifrasis,
hanya saja perifrasis kata-kata yang berkelebihan itu dapat diganti dengan satu
kata saja dalam pleunasme kata-kata yang berkebihan itu dapat dihilangkan
Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm.133-134.
[22] Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 170-171.
[23] Ibid.. hlm. 212.
[24] Persamaan atau simile adalah perbandingan
yang bersifat ekplisit yang langsung menyatakan sesuatu dengan yang lain.
Lihat. Gorys Keraf. Op,cit. Hlm. 138.
[25] Haddam Banna’ . al-Balâghah, fi Ilmi
al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. hlm. 23-26. dan ‘Ali Jarim dan
Mustafa Amin. Op.cit. Hlm.20.
[26] Alegori adalah suatu cerita singkat yang
mengandung kiasan, makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan
ceritanya. Lihat. Goris Keraf. Op.cit. hlm. 140.
[27] Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Op.cit.
hlm. 333.
[28] Ahmad Hasyimi. Op.cit. 235
[29] Ibid. hlm.262, Hadam Banna’. Op.cit.
hlm. 61-66.
[30] Lihat. Haddam Banna’. Op.cit. hlm.
80-84.
[31] ‘Ali Jarim dan Mustafa Amin. Op. Cit.
hlm. 117. dan Ahmad Hasyimi. Op. Cit. hlm. 258
[32] Kata metonimia diturunkan dari kata
Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yang
berarti nama. Dengan demikian metonimia adalah suatu gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm. 142.
[33] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 297
[34] Haddam Banna’. Op.cit.hlm.92-95.
[35] Ahmad Hasyim. Loc.cit. hlm. 308
[36] Pun atau paromonasia adalah
kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang
didasarkan pada permainan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam
maknanya. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm.145.
[37] Muhammad Ghufran.Balâghah: Ilmu Badi’.
Ponorogo:Darussalam Press.hlm. 23-25.
[38] Ibid. hlm. 29-31 dan Ahmad Hasyimi.
Op. Cit. Hlm. 351-352
[39] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm. 33-35
dan Ahmad Hasyimi. Ibid. hlm. 351-352.
[40] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm-38-40
[41] Ahmad Hasyimi. Loc. cit. hlm.
310-311.
[42] Muhammad Ghufran. Loc. cit. hlm.
56-57.
[43] Ahmad Hasyimi. Loc.cit.. Hlm.
314-315. dan Ibid. hlm. 60-61.
[44] Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit.
hlm. 288-289 dan Ibid. hlm. 66-68.
[45] ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit.
Hlm. 295-296. dan Muhammad Ghufran. Ibid. hlm. 66-68.
Posting Komentar